Erisha angkat kepala dari persembunyian di antara tekukan lutut. Netra menerawang, sedikit demi sedikit menilik penjuru ruang yang kehilangan hangat-nya. Tatap Erisha penuh keputusasaan. Berkas cahaya dari luar dengan remeh mengenai wajah berbekas air mata yang kentara.
Erisha tidak ingat kapan terakhir diri-nya makan, begitu pula dengan kapan diri-nya menangis. Keadaan Erisha ibarat tubuh tanpa jiwa. Wanita berusia 30 tahun itu telah dilukai oleh kebengisan dunia yang sempat membuatnya bertahan hidup.
Koper dan tas ransel di atas-nya mengalihkan konsentrasi yang sudah kacau seiring mengambang-nya Erisha menuju palung gelap di samudera kehilangan. Semua barang sudah masuk dan siap untuk dibawa pergi, namun mustahil bagi Erisha meninggalkan ruang yang menjadi tempat persembunyian terbaik.
Erisha belum siap meninggalkan kenangan yang ruang itu ciptakan.
Dipta.
Erisha bertemu untuk pertama-kalinya dengan si anak pejabat ini saat menginap di salah satu hotel bintang lima di Bali. Kamar mereka sebelahan. Dari obrolan singkat saat tidak sengaja membuka pintu bersamaan, Dipta menginap karena tengah menghindari pemberitaan bahwa pria itu telah melakukan tindak perundungan dan pelecehan seksual.
“Bukan gue yang ngelakuin! Gue berani sumpah! Gue dijebak!” kelakar Dipta kala mendapat tatap menyelidik dari Erisha, tepat setelah menceritakan alasan diri-nya bersembunyi di hotel.
Erisha sendiri memiliki alasan yang kurang lebih persis. Ia menginap karena tengah menghindar dari pemberitaan mengenai diri-nya yang memakai obat-obatan terlarang. Erisha, aktris yang terkenal akan akting ciamik dan kepintarannya setelah menyelesaikan studi di luar negeri, diduga menggunakan obat-obatan terlarang setelah tertangkap kamera keluar dari bar. Sebenarnya tidak aneh bagi para artis terlihat keluar dari bar, namun pemberitaan miring muncul karena bar yang dikunjungi sudah menjadi rahasia umum, dicap sebagai sumber penyebaran obat-obatan yang penggunaannya diatur dalam konstitusi.
“Gue enggak ada nyalahin lo. Gue juga punya alasan yang sama kayak lo,” balas Erisha di sesi sarapan bersama dengan Dipta. Satu seminggu setelah mengenal satu sama lain.
Erisha tak ragu bercerita pada Dipta. Wanita itu dengan santai mengulang pemberitaan miring yang berhasil meruntuhkan kesan baik dan predikat calon menantu yang diharapkan setiap ibu dengan anak laki-laki di bumi pertiwi ini. Kepercayaan orang pada Erisha runtuh seketika berita tersebar di dunia maya.
“Tapi lo enggak beneran make ‘kan?”
“Gue emang konsumsi. Awalnya untuk penanganan sakit gue. Gue divonis ADHD dan harus minum obat sesuai yang diresepkan dokter. Cuma dosis yang dikasih kurang mempan, jadinya gue ambil jalur cepat beli di pengedar. Eh, ketahuan sama media.”
“Jadi lo diasingkan?”
“Iya, begitulah! Tanpa manajer, tanpa staff. Sendiri.”
Erisha nampak tenang saat bercerita, namun Dipta menyadari keanehan pada sosok yang duduk berseberangan. Tangan Erisha bergetar. Bibir-nya kesulitan mengatup diam, seakan panik menyerang dan otak terus mengirim sinyal untuk tidak kambuh di waktu yang tidak tepat.
Dipta dapat melihat destruksi pada netra yang tidak lagi fokus.
Erisha tergeletak di depan pintu kamar kala Dipta datang dari arah tangga. Pria itu berlari, membawa Erisha dalam rangkul di atas pangkuan. Tidak Dipta pedulikan tas berisi belanjaan yang terjatuh begitu saja. Erisha membutuhkan pertolongan.
“Erisha! Lo kenapa?! Udah minum obat?!” pekik Dipta tertahan. Ia khawatir, tetapi dirinya tahu Erisha tidak mau keberadaan-nya diketahui oleh siapapun di hotel ini. Tidak dalam keadaan mengenaskan.
Bola berlian milik Erisha berlarian tanpa arah. Fokusnya menghilang. Ia mengigau, “Habis. Obat-nya habis.”
“Perlu gue beliin?”
“Lo gak bakal bisa beli tanpa resep dokter, kecuali ke pengedar. Jangan lakuin itu.”
Dipta kehabisan akal. Si pria tidak tahu harus melakukan apa untuk menolong Erisha. Dipta hanya mampu memapah Erisha masuk ke dalam kamar yang pintu-nya tidak tertutup rapat. Ia rebahkan Erisha, lalu dengan hati-hati merangkak dan membawa si rapuh ke dalam pelukan.
Dipta sungguh tak tahu apakah tindakan yang ia berikan tepat atau tidak. Tetapi, suatu solusi terbesit dalam sekejap mata.
“Erisha, mulai besok lo tinggal bareng gue ya? Jangan sendiri lagi.”
Sebagian besar penelitian mengemukakan bahwa pasien ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) memberi reaksi beragam terhadap sentuhan fisik yang diberikan pasangan mereka. Ada yang menyukai sentuhan ringan, namun menegang saat sentuhan berubah lebih intens. Ada pula yang sangat terbuka menunjukkan afeksi, bahkan tak ragu untuk memberi kecup sebagai ungkapan hati.
Erisha dan Dipta bukanlah sepasang kekasih. Namun sejak Erisha menuruti permintaan Dipta untuk tinggal bersama, secara alami mereka berbagi sentuhan fisik yang tidak biasa. Di kasus Erisha, wanita itu suka disentuh. Apalagi sentuhan dari Dipta.
Dalam sehari, Erisha setidaknya butuh dipeluk beberapa kali agar tidak kambuh. Wanita itu tidak mungkin meminta obat lagi. Perusahaan boleh saja membela-nya di media, tetapi Erisha tidak lagi dipedulikan. Mereka enggan berelasi dengan wanita gila. Erisha diasingkan, entah sampai kapan. Sepertinya, ia telah dilupakan. Hanya Dipta yang peduli.
“Kamu suka banget ya dipeluk?” tanya Dipta sembari memberi kecup berulang pada kening dan pelipis Erisha.
“Pelukan kamu hangat,” cicit Erisha.
Bahkan interaksi mereka nampak mesra bak dimabuk cinta! Sayang, Erisha dan Dipta tidak terlihat ingin meresmikan hubungan mereka sejak tinggal bersama sebulan lalu.
“Tapi ini udah masuk makan malam. Kita keluar yuk? Cari makan di pasar senggol deket sini,” ajak Dipta, lantas disusul dengan cumbu memabukkan.
Erisha tidak benar-benar paham akan intensi Dipta mengajak-nya tinggal bersama. Begitu pula dengan afeksi yang pria itu berikan setelah itu. Pujian, sentuhan, Erisha tidak paham darimana Dipta miliki keberanian bersikap manis pada-nya. Yang Erisha pahami, keberadaan Dipta perlahan menggantikan obat yang seharusnya ia konsumsi untuk menekan kemungkinan diri-nya kambuh.
Erisha menyukai semua afeksi verbal dan fisik yang Dipta berikan.
“Di sana ada apa aja? Enak-enak enggak?” tanya Erisha dengan napas tersengal.
“Kamu sih! Setiap diajakin gak mau. Gak steril lah, gak sehat lah!”
“Ya ‘kan ngaruh sama kondisi aku nantinya,” ujar Erisha memberi alasan.
Dipta colek hidung Erisha karena gemas. Ia berujar, “Sesekali kamu tuh harus bisa lebih lepas. Nikmati hidup ini. Jangan terlalu terikat sama aturan.”
“Okay, I’ll try.”
“Good. So, shall we go?”
Erisha setujui ajakan Dipta yang membawanya pada tingkat kebahagiaan tak terbatas. Dalam dua jam, Erisha berulangkali dibuat tersenyum dan tertawa.
Dipta seperti memiliki magnet yang membuat Erisha betah. Sikap gentle Dipta menggenggam tangan agar Erisha tidak menghilang di tengah keramaian. Intusiasme Dipta saat menuntun Erisha mencoba makanan baru. Canda garing yang Dipta lontarkan, namun sukses membuat Erisha tertawa kesetanan.
Erisha sukai semua tentang Dipta.
“Senang?” tanya Dipta setelah keduanya selesai. Mereka sudah kenyang. Mereka juga puas karena sempat mencoba beberapa wahana ringan yang bisa digunakan oleh orang dewasa.
“Senang,” balas Erisha.
“Beneran? Tapi suaranya kamu kok kayak sedih gitu?”
Erisha hentikan langkah, membuat Dipta otomatis berhenti. Tangan pria itu masih menggenggam tangan si wanita, menunggu risau dibalik ekspresi yang sulit didefinisikan.
“Aku senang. But, to think that this won’t last forever-”
“Apa yang gak bakal bertahan selamanya?”
“Aku dan kamu. Pegangan tangan seperti sekarang dan berpetualang bersama. Suatu hari, kita pasti bakal pisah kalau semua masalah sudah diselesaikan.”
Tatap Dipta melunak. Ia raih tangan Erisha yang mengganggur dan menggenggam-nya dengan tekanan yang tidak berlebihan. Tekanan yang lebih dari mampu menenangkan Erisha dari pikiran-pikiran negatif.
“Lihat aku, hmm?” pinta Dipta.
“Dipta, kamu tahu aku gak bisa menaruh fokus-ku semudah itu,” elak Erisha, menghindari kontak mata dengan Dipta.
Tangan beralih meraih dagu Erisha, memaksa si wanita untuk menatapnya barang sejenak. “Coba, Erisha. Coba fokus dan tatap mataku,” bujuk Dipta. Butuh beberapa saat bagi Erisha menajamkan fokus, lantas menenggelamkan diri pada tatapan teduh yang perlahan namun pasti sudah menjadi tempat berlindung terbaik.
“Kamu enggak perlu khawatir. Kita bisa lakukan ini terus bersama. Ayo pacaran! Kamu mau ‘kan?”
“Kamu ngajak aku pacar-”
“Iya, pacaran. Aku suka kamu dan rasanya enggak pantas lelaki sepertiku berbuat semauku tanpa memberi status yang tepat untuk hubungan kita.”
Dahulu, ketika awal-awal Erisha didiagnosa mengidap ADHD, susah bagi Erisha untuk fokus pada kegiatan-kegiatan yang ia lakukan. Obat dengan kandungan amfetamin adalah satu dari sekian solusi untuk mengembalikan fokus Erisha. Tetapi, banyak hal yang membutuhkan Erisa untuk tetap fokus. Konsumsi Erisha terhadap obat penyembuhan meningkat dan tanpa sadar ia sudah kecanduan.
Dipta adalah sekonyong variabel yang mampu menggantikan obat-obatan. Erisha lebih dari senang mendengar pria itu mengajaknya menjalin kasih. Tidak lagi bersama tanpa status yang tidak jelas.
Erisha jinjitkan kaki, membalas ajakan Dipta dengan kecupan singkat. Ia tersenyum lebar setelah menjauh. Anggukan sudah lebih cukup membuat Dipta turut tersenyum dan membawa Erisha pada rengkuhan di udara.
Erisha dan Dipta resmi menyandang gelar kekasih untuk satu sama lain.
Erisha tidak menyadari perubahan pada diri setelah tinggal dengan Dipta. Tidak hanya rasa suka yang Erisha rasakan. Ia terobsesi. Erisha kesulitan melepas Dipta.
Intensitas kebersamaan yang tinggi membuat Erisha tidak pernah bisa jauh-jauh dari Dipta. Dipta yang kerja remotely sampai kesulitan menyelesaikan pekerjaan karena Erisha tidak bisa ditinggal barang sedetik. Di awal hubungan, Dipta bisa menangani sikap manja Erisha. Ia akan berikan perhatian terbaik pada wanita-nya dan baru akan bekerja setelah gadis itu terlelap. Dipta rela memangkas waktu tidur-nya, asal Erisha terus tersenyum.
Sayang, romansa penuh pengorbanan itu hanya berlangsung sesaat.
Tiga bulan sudah mereka tinggal bersama, kala Dipta terpaksa bekerja saat Erisha terjaga. Pria itu diburu tenggat dari klien dan tidak mungkin meninggalkan tanggung jawab yang dipercayakan padanya. Dipta berharap Erisha mengerti, namun wanita itu kesulitan menerima penolakan halus. Ini bukan seperti Dipta berhenti menyukai Erisha. Hanya saja, Dipta punya tanggung jawab selain membahagiakan sang kekasih.
“Kamu udah gak sayang sama aku!” bentak Erisha kala Dipta beberapa kali memohon untuk tidak diganggu. Bagaimana Dipta tidak kesal, jika setiap bekerja Erisha akan datang dan langsung saja mendudukkan diri di pangkuan dan mencumbu tanpa ada niatan berhenti.
“Aku sayang kamu, Erisha. Tapi aku punya pekerjaan. Deadline-nya malam ini!”
Di telinga Erisha, ucapan Dipta sungguh menusuk. Wanita itu tidak menyangka diri-nya akan dianggap remeh secepat ini. Ketika segala hal sudah Erisha berikan pada Dipta. Jiwa dan raga.
“Kalau kamu sayang, urus kerjaan kamu nanti!” ancam Erisha.
Kira Erisha mempan, Dipta justru bangkit dan membawa laptop keluar ruangan. Sebelum benar-benar menghilang, pria itu berujar, “Terserah kamu, mau percaya atau enggak. Yang jelas, aku ada kerjaan dan enggak bisa ditunda. Kalau kamu enggak suka, aku keluar. Aku balik kalau udah selesai.”
Dipta tak memberi Erisha kesempatan bicara, meninggalkan wanita-nya pada perasaan hampa yang lama tidak ia rasakan.
Erisha kembali jatuh dan perlahan mengambang.
Seakan dunia tak cukup menghukum Erisha, Dipta secara mengejutkan memutuskan berhenti tinggal di hotel dan akan kembali ke Jakarta. Dipta dinyatakan bebas dari fitnah yang sempat memperburuk namanya.
“Dipta, jangan pergi!” mohon Erisha putus asa. Wanita itu bahkan rela berlutut dan menarik pergelangan tangan kala Dipta menarik koper keluar kamar.
“Lepas, Erisha. Kamu enggak butuh aku lagi,” balas Dipta tanpa menoleh.
“Aku butuh kamu!”
Dipta hempas paksa pegangan Erisha. Ia menoleh ke bawah dan membentak, “Kamu butuh aku, tapi kamu pernah gak mikirin aku?!”
“Dipta, aku-”
“Erisha! Aku juga manusia! Aku punya batas kesabaran! Aku gak masalah dengan penyakit kamu, tapi bukan berarti kamu bisa berlaku semau kamu! Aku capek! Aku juga bisa sakit kayak kamu!” sela Dipta dengan bentakan yang tidak ada habisnya.
Tanpa menunggu respon Erisha, Dipta keluar dan meninggalkan Erisha yang semakin lama semakin dalam bergerak mendekati dasar samudera. Erisha patah hati.
Fokus Erisha kembali menghilang. Lama penyakitnya tidak kambuh, kini kembali menggerogoti jiwa yang melemah kian detik seiring menjauhnya Dipta dari ruang berbagi memori indah. Tubuh Erisha bergetar hebat. Ia ingin berteriak. Memohon pada Dipta untuk kembali padanya. Namun Dipta tidak pernah kembali. Erisha kembali terasingkan.
Erisha tidak punya pilihan selain perlahan bangkit. Tetapi, untuk bernapas saja sulit. Apalagi meninggalkan tempat dengan segala memori berharga antara diri-nya dan Dipta. Erisha tidak akan pernah mampu mengarungi palung gelap dan mencapai permukaan penuh akan kebahagiaan.
Kamar hotel menjadi akhir perjalanan Erisha di dunia yang kejam, sekaligus menjadi akhir dari sakit hati yang bercokol.